Archive for the ‘Motor dan HTML’ category

Solo Moto-Touring 2020

December 24, 2020

Penghujung 2020, menjadi pilihan tepat untuk menjalani cuti tahunan. Moment ini rencananya akan saya gunakan untuk motor touring ke beberapa tempat di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Mungkin tak banyak tempat yang benar-benar akan disinggahi, mengingat dalam perjalanan ini, saya akan lebih banyak menikmati mengendarai motor saja. Sendiri. Iya, sendiri!

Bandung menjadi lokasi tujuan pertama. Walau sudah sering ke wilayah ini, masih banyak tempat yang belum pernah didatangi. Juga, jalan menuju Bandung adalah jalur favorit para motorist untuk turing jarak pendek, atau mungkin hanya sekadar menikmati bubur ayam Cianjur dan meneguk segelas kopi susu dari sejuknya Puncak Bogor.

Pun demikian dengan saya. Menikmati jalur puncak dengan motor, selalu mendapat sensasi tersendiri yang menyenangkan. Sambil mendengarkan dendangan lagu Metallica di Spotify dan JBL Reflect Fit – bluetooth, menikmati perjalanan awal menuju Bogor. Seddap!

Sayangnya, hari itu jalur puncak baru saja diguyur hujan. Kabut tebal datang menyelimuti seluruh jalan. Tak kuasa untuk melanjutkan perjalanan, jarak pandang terlalu pendek saat itu. Demi keselamatan umat manusia, berhenti di sebuah warung sekitar Masjid Atta’awun. Saatnya juga bersamaan dengan waktu sholat Jumat.

Hampir 3 jam terjebak di sekitar Puncak. Waktu ini saya manfaatkan dengan menikmati sajian sekoteng di penjaja pinggir jalan.

Setelah kabut mulai menipis, tanpa buang waktu saya lanjut gas ke arah Cianjur. Hitungannya, di daerah ini bisa istirahat makan siang. Sepiring nasi dan karedok tersantap dengan lahap siang itu.

Setelah perut terisi penuh, lanjut perjalanan ke Bandung. Tak lupa mampir ke Kota Baru Parahyangan untuk mengambil foto pemandangan di sekitar situ. Tempat ini adalah spot langganan bila bersepeda di Bandung.

Tebing Keraton menjadi tujuan berikutnya di Bandung. Tempat yang berada di ketinggian 1200 mdpl. Tebing ini menawarkan keindahan alam dari jejeran hutan pinus. Selain itu dari tebing ini, hamparan keindahan kota Bandung bisa terlihat lebih apik. Perjalanan tak memakan waktu lama dari Dago. Jalurnya pun tak terlalu curam. Hanya saja, cuma roda dua yang bisa parkir sampai ke dekat lokasi tebing. Untuk roda empat, terpaksa parkir jauh di bawah. Forever two wheel 😁

Tujuan berikutnya di Bandung, mengarahkan motor ke daerah Pengalengan. Pangalengan terletak 45 Km atau sekitar 2 Jam dari Kota Bandung, berada di ketinggian 1550 Mdpl sehingga daerah ini memiliki iklim yang sangat sejuk, dimana kita akan banyak menjumpai hamparan perkebunan teh di sini, ragam bentuk air terjun, hutan-hutan yang masih alami, danau yang eksotis dan sungai yang menantang.

Sayang, sesampainya di Pengalengan hujan turun dengan derasnya. Hanya bisa menikmati Situ Cileunca yang tertutup kabut. Bila terang, ada pemandangan pegunungan di seberang sana.

Dalam perjalanan pulang juga menyempatkan diri untuk meneguk Capuccino di cafe yang menyajikan pemandangan bagus sebagai latarnya

Harusnya kopi ini ada corak menarik. Tertiup angin, buyar gambarnya.

Hari berikutnya adalah awal perjalanan menuju Jawa Tengah. Kali ini persiapan harus lebih matang. Banyak jalur asing yang akan dilewati. Barang bawaan pun bakal jauh lebih banyak. Selain waktu tempuh yang lebih lama, jaraknya sudah mencapai lebih dari 500 km dari Jakarta. Setelah memasang box sebagai tambahan bagasi, perjalanan siap dimulai.

Pukul 08.00 tiba di Cikampek. Perhentian pertama di jalur Pantura. Di sini berakhir dengan sarapan mie goreng. Sebenernya ada logo nasi kuning yang membuat saya menghentikan laju motor pagi itu. Sayangnya nasi kuning sudah habis. Hmm, memang saat tiba, sudah banyak orang beristirahat di sana.

Sekitar 30 menit beristirahat sambil menikmati sarapan. Perjalanan berikutnya menjadi trip yang penuh peluh, juga dahaga. Bagaimana tidak, jalur pantura sepanjang itu, harus dilalui pada jam matahari sedang giat memancarkan teriknya. Apalagi jalur Indramayu hingga Cirebon. Ini bagai jalan tak berujung. ‘Siang itu berat. Kamu gak akan kuat. Biar Dilan aja.’

Setelah melonjorkan kaki sejenak di SPBU, sambil meneguk pocari, tiba di gerbang Cirebon tepat pukul 11.00. Jalan memasuki kota, sambil melihat-lihat tempat makan yang enak untuk menyantap empol gentong khas Cirebon. Hungry to the max!

Dari Cirebon lanjut perjalanan menuju Jawa Tengah. Awalnya mau langsung ke Kutoarjo. Rumah mudik saat kecil. Namun, karena waktu sudah menjelang malam, diputuskan menginap dulu di Purwokerto. Saya membiasakan tidak berjalan kala gelap tiba.

Perjalanan sore ini memang banyak terhambat macetnya jalan di antara Brebes sampai Tegal. Walau pemandangan di sisi kanan enak di pandang mata, tapi jalan beton yang rusak menjadikan mobil bergerak lambat. Sempat beristirahat sejenak di jalur ini.

Di sini pula baru menyadari, ternyata SIM C tidak ada di dompet. Jadi perjalanan berikutnya adalah perjalanan ilegal. Total perjalanan hari itu 417.3 km.

Keesokan harinya, mulai berkendara lagi dari pagi. Menurut Google Maps, akan tiba sekitar pukul 9.00 di Kutoarjo. Ini belum termasuk nyasar. Karena orang yang menunjukkan jalan juga tidak terlalu paham membagikan point maps yang tepat.

Pukul 11.00 benar-benar baru tiba. Setelah beberapa belokan disasarkan google maps keliling jalan gravel sekitar Pogungkalangan.

Rumah ini, walaupun dalamnya sudah banyak berubah, tapi bagian depan dan sekeliling rumah masih sama seperti suasana saat masih sering mudik. Satu jam berkeliling di sekitar rumah nenek. Dari sawah di belakang rumah, kolam ikan besar tempat dulu memancing, hingga sumur air di samping rumah, masih sama seperti sedia kala. Sambil ngobrol dengan sanak saudara yang masih tinggal di sana, sajian teh hangat dan sepiring gorengan tersantap cepat. Dan tak lama, saya pamit.

Dari Kutoarjo, lanjut ke perhentian berikutnya. Jogja. Ini salah satu tujuan utama solo turing kali ini. Setup direction dari Kutoarjo ke Yogyakarta, rupanya agak berbeda dengan jalur mobil. Di jalur ini malah menemukan jalan dengan pemandangan yang menyejukkan mata. Ternyata tak jauh dari rumah nenek, ada tempat yang indah luar biasa. Hamparan sawah yang sangat luas dibelah jalan panjang di tengahnya. Sejauh mata memandang hanya terlihat jajaran tanam padi dengan latar pegunungan.

Kalo boleh sedikit lebay, ini jadi mirip savana di Baluran. Bedanya, Baluran adalah tanah tandus dan kering, di sini sawah dan tanaman padi menghijau.

Mengabadikan sesaat suasana di sana, melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Melewati jalur selatan dengan panas yang kembali menyengat. Dari Purworejo sampai Wates nyaris gas tanpa henti. Tak terasa indikator bensin juga mulai menipis, dan saatnya mampir SPBU untuk mengisi bahan bakar. Sekilas melihat ada petunjuk arah Kalibawang sebelum SPBU. Bila diingat nama ini adalah salah satu tujuan di Kulonprogo. Tanya ke petugas setempat, benar belokan itu mengarah ke Kulonprogo.

Tanpa pikir panjang, membelokkan arah motor ke jalan tersebut. Nama Kalibawang didapat dari sebuah channel youtube yang bercerita ihwal jalur sepeda favorit dari Jogja. Suasananya terlihat asik. Juga ada cafe di sana. Sudah mencatatnya sebagai salah satu tujuan solo turing ini.

15 kilometer dari belokan jalan utama, tibalah di sebuah cafe yang tempatnya memang di tengah sawah. Beberapa mobil dan motor sudah banyak parkir di halaman depan. Kopi Klotok Menoreh namanya. Akhirnya, bisa sedikit meregangkan kaki sambil menikmati makan siang dan segelas es teh manis di tengah sawah. Tentu ditutup dengan segelas kopi andalannya. Asoy Geboy, Cuy!

Cukup lama berleha-leha di sini. Melepas lelah, menghilangkan lapar, dan mengusir dahaga. Malah hampir membuat mata mengantuk hebat. Tapi Jogja masih 40 km lagi, Bro!

Berkeliling puas di sekitar persawahan Kalibawang, saya melanjutkan perjalanan. Kali ini langsung ke hotel di Jogja. Sudah tak sabar badan ini ingin berendam di kolam renang. Ditemani segelas kopi, jadi lebih menarik. Indeed, Sir!

Sore hingga selepas magrib beristirahat di hotel. Malamnya motoran berkeliling Jogja. Selain mencari makan, keliling malam cenderung lebih aman. Mengingat saya berkendara secara ilegal tanpa SIM. Jangan dicontoh.

Tujuan tempat makan adalah warung lesehan di sekitar Tugu. Tepatnya di depan Hotel 101. Bukan tanpa sebab, kurang lebih setahun lalu, di sini menyimpan banyak cerita keseruan kala outing kantor menginap di hotel ini.

Menu makan malam saat itu, dua bungkus nasi oseng, sate telur puyuh, sate usus, sate ampela, bakwan dan segelas teh tawar panas. Nikmat dunia mana lagi yang engkau dustakan?

Tak bisa berlama-lama juga di sini, karena sesekali petugas pemerintah setempat bolak balik mengingatkan untuk selalu menerapkan 3M. Mungkin karena di sekitar tugu, dipenuhi warga yang menikmati suasana Jogja di malam hari

Tepat pukul 21.00 kembali ke hotel. Di sana bertemu motorist juga yang sedang menikmati segelas kopi dan sebatang rokok. Saya pun bergabung dan saling bercerita perjalanan turing menuju Jogja. Nambah teman lagi, euy!

Malam itu coba merencanakan aktifitas esok hari. Sebenarnya masih mau berkeliling Kota Jogja sehari lagi. Ingin juga lari ke hutan, lalu belok ke pantai. Tapi karena Rangga baru ketemu Cinta, kita tunggu dua purnama lagi. Juga karena alasan berkendara tanpa SIM, niat ini harus diurungkan dulu.

Di beberapa sudut kota, beberapa petugas memang tampak berjaga-jaga. Rencana ke Gunung Kidul untuk mengunjungi paman, juga terpaksa dibatalkan. Jadi besok pagi langsung melayang ke tempat tertinggi di Pulau Jawa. Negeri di atas awan!

Perjalanan dari Jogja ke Dieng, merupakan pengalaman yang luar biasa. Jalurnya di-setting lewat Temanggung, kota tembakau. Dengan jalur ini artinya tidak bisa mampir ke kawasan Borobudur. Keputusan yang salah nyatanya. Karena jalur menuju Dieng dari Temanggung merupakan jalur yang lumayan mencekam. Selain sempit, sepi, juga tanjakan curam tersedia di sana. Beberapa kali mesin Xmax harus meraung hebat untuk membawa motor yang gambot, termasuk rider yang tak kalah gambot.😎

Walau disajikan pemandangan dari ketinggian pegunungan, namun rasa resah mulai datang. Sesekali berhenti untuk memastikan jalur dan jarak tempuh sampai ke Dieng sudah benar. Setelah 3 kali berhenti, terpaksa mengurungkan niat meneruskan perjalanan. Karena berkendara sendiri dengan jalur seperti itu agak konyol namanya.

Akhirnya mengubah arah ke Alun-alun Wonosobo. Dari sini saya pernah ke Dieng dengan jalur yang lebih bersahabat. Tapi nyatanya tak mudah menuju Wonosobo dari situ. Google selalu saja berputar dan kembali berujung ke jalan yang sempit dan sepi tadi. Sampai 3 kali berputar sekitar perkampungan. Dan akhirnya saya add stop mundur ke jalur sebelumnya dulu, baru kemudian diarahkan ke jalan raya Wonosobo.

Alhamdulillah, berhasil keluar dari trek itu. Dan hadiahnya, mendapatkan jalan aspal lebar dengan pemandangan Gunung Sindhoro dan Gunung Sumbing sekaligus.

Dari Alun-alun Wonosobo, jarak ke Dieng hanya sekitar 30 menit. Tak lebih dari 40 km. Jalannya pun sangat bersahabat. Walau sesekali tanjakan curam dan berkelok, tidak menciutkan hati karena banyak orang yang menggunakan jalur serupa.

Dieng dikenal sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa. Dengan ketinggian sekitar 2500 mdpl, Dieng terasa sejuk dan dingin. Apalagi hujan baru saja reda.

Sesampainya di Dieng, hanya berkeliling ke Plateau, gerbang Bukit Sikunir, dan bersantai sejenak menikmati tempe kemul serta mie ongklok. Makanan khas Wonosobo yang patut dicoba bila mampir ke sana. Sebuah cafe berdinding oranye saya pilih karena tempatnya terlihat nyaman dengan mendapat view yang luas.

Sambil bersantai di sini, mencari penginapan di sekitar. Berencana tinggal semalam sebelum besok melanjutkan perjalanan.

Dieng jadi seperti klimaks dari rangkaian perjalanan solo turing ini. Walau ada beberapa spot terlewati, dengan solo riding sampai di Jogja dan Dieng, sudah terasa cukup. Jadi disimpulkan besok mulai mengarahkan motor kembali ke rumah.

Pagi hari, dari balik jendela hotel, tanpa disengaja saya mendapatkan pemandangan matahari terbit dari ufuk timur Dieng yang terkenal itu. Lumayan lah, bisa nikmatin sunrise, tanpa repot bangun dini hari dan epiode nanjak Bukit Sikunir 😁

Tepat pukul 07.30 mulai memacu motor untuk kembali ke rumah. Menimang jalur, antara lewat jalur selatan, atau tetap jalur utara. Perbedaanya dua jam, jalur selatan lebih lama. Namun, karena berencana tidak transit lagi, akhirnya tetap pilih jalur utara.

Bedanya, dari Wonosobo akan menyusuri jalur tengah dulu. Melalui Banjarnegara dan Purbalingga. Lanjut Purwokerto dan akhirnya bertemu jalur berangkat di Bhumiayu.

Di jalan ini, perjalanan cukup mengasikkan. Selain lebih santai, jalur juga seru untuk motoran. Kali ini JBL menemani dengan melantunkan lagu-lagu bergenre Grunge. Hmm, Smells like teen spirit..

Saya berhenti sebentar di Alfamart Ajibarang untuk merenggang kaki dan menikmati minuman dingin.

Dari sini, lanjut menarik handle gas ke arah Cirebon. Kota udang ini kembali menjadi tempat yang pas untuk istirahat makan siang. Dua piring nasi padang dengan daging cincang ludes tak pakai lama.

Jalur berikutnya sama dengan saat berangkat. Menyusuri pantai utara jawa adalah saat memacu motor lebih gesit. Hanya sekarang tidak ditemani teriknya sinar matahari. Hari sudah menjelang sore. Hanya hembusan angin sepoy menerpa helm dan tubuh berbalut jaket tebal kala itu.

Perjalanan terberat akhirnya datang saat sore tiba. Menjelang gelap, hujan deras turun di Karawang. Awalnya saya pikir hujan tak berlangsung lama. Dan seperti biasa mencari rest area Alfa di sekitar.

Rupanya takdir berkata lain. Hujan seakan tak mau berhenti. Bahkan semakin deras. Hampir satu jam bersama bikers lain meneduh di sana. Beberapa orang sudah mulai pesan mie dalam gelas. Sementara saya harus mulai berpikir untuk melanjutkan perjalanan dengan jas hujan.

Karena kebetulan ini adalah jam pulang kantor, sampai Cikarang harus bergelut dengan kemacetan luar biasa. Walau hujan sudah berhenti, cobaan macet Cikarang – Bekasi benar-benar menguras tenaga. Dua jam baru tiba di MM Bekasi. Akhir dari kemacetan.

Memasuki Kalimalang, jalur sudah tak asing lagi, dan lanjut membelah Jakarta sampai ke bagian selatan kota satelitnya.

Pukul 22.00 tiba di rumah. Alhamdulilah sampai di rumah dengan selamat. Rangkaian solo turing 2020 pun telah selesai.

Sampai jumpa di turing selanjutnya. Selamat Tahun Baru 2021.

HILANG AKAL

February 9, 2009

Demi memenuhi aroma nafsu yang menghilangkan akal baik, dompet tebal berubah tipis seketika. Dimulai dengan pembelian modem pada postingan sebelumnya, sampai penggantian tunggangan sehari-hari.

Setelah membeli modem, keinginan untuk semakin bermobile ria semakin menggebu. Notebook yang ada sekarang semakin terasa berat. Lirikan utama adalah mencari PC yang ringan, kecil, dan reliable. Pilihan jatuh pada Lenovo S10. Saya menggaetnya akhir tahun lalu.

Belum seminggu netbook ini saya sentuh, serasa ada sedikit kekurangan yang mengganjal. Beruntung, ada teman kantor yang sanggup menampung UMPC berwarna putih ini. Esoknya, saya berpaling ke sang pioneer netbook. Asus eee.

Netbook sudah di tangan. Tapi masih ada yang kurang untuk benar-benar mobile. Eee ternyata belum bisa dijadikan gadget pemantau dunia maya di setiap tempat. Jadi, target berikutnya adalah ponsel pintar. Pilihannya menggaet salah satu varian blackberry, atau kembali ke pelukan windows mobile, PDAphone. Setelah banyak menimbang, saya masih terlalu cinta pada PDAphone. Agar masih berbau blackberry, saya mencari PDA yang memiliki keyboard qwerty. Dan pulihan jatuh pada Palm Treo 750V.

Sudah puas dengan formasi bermobile ria, kehilangan akal yang paling besar adalah mengganti tunggangan. Tiger 1997 sepertinya sudah terlalu renta untuk melayani tuannya yang masih segar bugar. Akhirnya, awal tahun ini keluar STNK untuk Tiger Revo bermata jereng.

Tirev

Begini Ceritanya…

December 26, 2007

Malam itu, kebetulan keluarga dari Bandung hendak berkunjung ke rumah baru gue. Daripada berlama-lama kasih petunjuk arah, gue berinisiatif menjemput mereka di pintu gerbang komplek.

Setelah mereka sudah sampai di gerbang, gue dan istri bergegas memacu Tigi menuju gerbang depan. Baru beberapa ratus meter keluar pagar rumah, tiba-tiba dari ujung jalan ada seekor anjing putih dan besar menghampiri. Melihat anjing mendekat dan mendengar gonggongan anjing tersebut, sontak istri gue teriak histeris. Gue yang awalnya tenang dan berniat menghentikan motor -katanya bila kita berhenti, anjing juga diam yaa?-, ternyata si anjing sialan ini tidak menghentikan gonggongannya. Akhirnya, gue jalanin motor dan menambah kecepatan dengan perkiraan si anjing akan berhenti mengejar. Duh, masih salah juga perkiraan gue. Larinya semakin kencang, dan sudah tepat berada si kaki istri gue. Spontan dia mengangkat kakinya dan menggerakkan badan ketakutan. Jadi lah gue keilangan keseimbangan. Dan… Sukses nyusruk di pinggir jalan!

Alhamdulillah kita berdua masih sadar, dan gue bisa telepon keluarga Bandung untuk menjemput kami di TKP. Jadi tebalik deh.. hehehe…

Luka gue paling parah di tangan kiri yang terkuak lebar. Lengan kanan memar dan sulit digerakkan. Kaki kanan pun lumayan ngilu. Entah terbentur benda apa. Istri, luka dan memar di betis, pinggang, dan luka kecil di jari tangan. Yeah, we’re using full face helmet!

Motor, reflektor lampu melesak ke dalam batok yang pecah. Lampu sen patah. Spakboard terbelah dua. Dan segitiga komstir yang bengkok dan menyebabkan roda serong ke kiri.

Kami berdua sudah mendapat perawatan, dan Alhamdulillah tidak ada luka serius. Motor sudah masuk bengkel.

Kita segera melapor ke pengurus RT, tentang keberadaan anjing tersebut. Berhubung kami orang baru, mungkin si anjing mau kenalan.. 😉
Dan, mulai semalam anjing tersebut sudah dirantai. Karena ternyata sudah banyak memakan korban dengan kejadian serupa.

DAMN, Pertamax Naik Lagi

June 3, 2007

Sejak 01 Juni 2007, harga pertamax naik lagi. Dari harga Rp 6.050/liter, menjadi Rp 6.400/liter. Padahal, harga sebelumnya juga belum lama berlaku. Bener-bener SUX!

Dengan demikian, sementara ini jenis minuman untuk kendaraan saya harus diubah dulu. Pada pengisian berikutnya, saya akan membeli Pertamax Plus. Tanggung, beda dikit doank!

SAFETY RIDING COURSE

January 23, 2007

Sebuah perusahaan Jepang yang beroperasi di kawasan industri di Jawa Barat, meminta kami untuk memberikan Safety Riding Course (SRC) kepada 50 orang karyawannya. Bersama rekan-rekan HTML yang tergabung dalam HTML Safety Riding Team (HSRT), siap memberikan training singkat tentang safety riding di perusahaan yang menyandang nama PT. SUMCO.

Segala persiapan mulai dilaksanakan. Meeting pun segera digelar. Persiapan yang mendapat jatah waktu satu bulan, rasanya terlalu cepat. Mengingat semua anggota team juga memiliki kesibukan di kantornya masing-masing. Meeting-meeting awal hanya bisa dilakukan pada saat weekend. Itu pun sulit sekali mengadakan pertemuan dengan full team. Sehari-hari diskusi hanya melalui milis. Menjelang minggu terakhir, barulah meeting mulai gencar dilakukan. Hampir setiap hari, after office hour, kami selalu menyempatkan bertemu untuk lebih menguatkan seluruh skema training ini. Dari materi, instruktur, peralatan pendukung, sampai perhitungan budget makan-makan. 😉

Hari yang ditentukan telah tiba. Sabtu pagi (20/01/2007), HSRT, dengan dua mobil dan 10 motor berangkat menuju lokasi. Semua anggota team sudah siap dengan tugasnya masing-masing. Saya sudah siap dengan jadwal acara yang sudah dipersiapkan dengan matang.
Sekitar pukul 07.00 team mobil sudah sampai. Dan, setelah memeriksa segala sesuatunya, acara dimulai pukul 08.00.
(more…)

Turun Mesin

December 10, 2006

Menginjak awal usia 9 tahun (1997-2006), motor saya mulai menunjukkan gejala kerusakan pada bagian mesin. Dari tarikan yang kelewat berat, asap hitam mengepul pada rpm tinggi, sampai berkurangnya ukuran oli pada kilometer ke-500. Dari gejala ini sebenarnya sudah bisa dipastikan obat satu-satunya adalah dengan melakukan ritual ‘turun mesin’. Minimal, kerusakan pada area klep, seher, dan rumah kopling menjadi tujuan utama service besar selanjutnya. Kondisi ini yang menyebabkan tak pernah percaya diri lagi untuk turing bareng teman satu komunitas atau menempuh perjalanan yang agak jauh.

Jumat malam, tepatnya tanggal 1 Desember 2006, seperti yang sudah dijadwalkan, saya membawa motor ke bengkel langganan. Dengan target maksimal 2 hari -berharap hari Senin sudah selesai-, saya paparkan semua yang mungkin harus diperbaiki. Tanpa sadar, banyak sekali kekurangan yang harus dibenahi. Dari ritual turun mesin tadi, perbaikan harus merembet pula ke area komstir, kabel body, gir depan, kanvas rem belakang, sampai indikator bensin.

Ya, memang wajar, dengan umur motor yang tergolong tua, dan digunakan harian, apalagi saya sudah jarang ‘mengelus’ motor ini sejak beberapa bulan lalu… 😉 . Tapi saya cukup bangga juga dengan ketahanan mesin keluaran ’97 ini. Sudah banyak kerusakan serupa timbul pada motor keluaran baru yang belum genap berusia 5 tahun.

Setelah mendapat estimasi biaya –dem, mahal bener yaa- saya masih mempunyai keinginan untuk mengganti stang standar dengan stang YT yang biasa digunakan untuk motor trail. Selain untuk variasi, dengan bentuk yang lebih lebar, diyakini membuat posisi duduk pengendara menjadi lebih santai. Dan kabarnya, stang ini bisa menjadi penyeimbang untuk motor yang ditambah aksesoris box di belakang. Kekurangannya, bila dalam keadaan macet, agak sulit untuk melakukan aktivitas ‘selap-selip’.

Stang YT

Molor satu hari dari jadwal semula, motor saya baru selesai Senin sore. Bukan tanpa sebab, perbaikan kabel body memakan waktu yang lebih panjang. Kondisi kabel yang sudah carut marut, dirapikan satu persatu oleh sang mekanik. Begini lah bila terlena dengan aksesoris kelistrikan sejak dulu. Dari klakson yang bermacam-macam, sirine, sampai flasher dan strobo pernah hinggap di motor ini. Selain flasher, sekarang semua aksesories tersebut sudah dilepas dan meninggalkan bekas yang merepotkan.

Setelah diperiksa secara keseluruhan, langsung saya tancap gas menuju rumah. Wuiih, serasa motor baru lagi. Tarikan enteng, bunyi halus, dan dudukan yang nyaman dengan stang yang lebar. Manstab, dan siap turing lagi. Yeah!

New Box On The Bike

April 29, 2006

E450Dengan semakin banyaknya kebutuhan harian yang harus dibawa serta ketika mengendarai motor, box Givi E33 dirasa kurang bisa memenuhinya. Box yang berkapasitas 33 liter dan dapat menampung satu helm full face ini awalnya memang sudah memenuhi kebutuhan saya sewaktu masih sering berkendara seorang diri. Hampir semua barang yang biasa saya bawa dapat masuk di dalamnya. Biasanya saya membawa sebuah tas ransel, jas hujan, dan beberapa toolkit dan sparepart untuk disimpan di box ini. Bila parkir, tas ransel akan bertukar tempat dengan helm.

Belakangan, dengan seringnya membawa boncenger tentu kapasitas box ini menjadi semakin berkurang. Yang pasti, tambahan 1 helm dan 1 stel jas hujan pun harus masuk ke dalamnya. Belum lagi dengan barang belanjaan atau barang bawaan lain yang menjadi sering dibawa.

Setelah berhasil melepas box E33 ini ke seorang rekan kantor, semalam box baru type E450 yang masih keluaran Givi sudah terpasang di motor saya.

E450 – SIMPLY – MONOLOCK®

E450 Simply, the large Monolock case characterized by a wide reflector and a modern design, has now been equipped with a new automatic opening/closing system.

OPENING: simply pushing a button with one finger, even when wearing gloves will easily open the case.

DETACHMENT: The mere rotation of the key and a light pressure on the red push button enables the detachment of the case from the motorcycle. The new E 450 has a security system in case it is closed incorrectly. The pressure with your hand brings the hinge to the correct closing position.

Motor Narsis

April 10, 2006

Sudah mulai bosen sama tampilan sisi belakang motor, tapi bingung milih striping. Maka motor sayah tiba-tiba menjadi narsis. Hiehiheihaiea..

bike

HEY, Stop Di Belakang Garis Putih!

February 16, 2006

Semenjak adanya kasus HD dengan Ibu Sarie beberapa waktu lalu, berbagai milist dan forum yang saya ikuti banyak membahasnya. Tidak ketinggalan pula di milist dan web HTML. Komunitas dimana saya masih tergabung di dalamnya. Pro dan kontra pun mengalir deras dari setiap member. Pagi ini, saya pun masih menerima email terkait masalah HD. Tanggapan dari seseorang yang mengaku sebagai wartawan tabloid motor ini lebih mengungkap pandangan dari dua sisi. Kebetulan beliau juga seorang biker yang juga pengendara mobil. Ada satu paragraf yang menjadi perhatian saya.

Saya salut kepada rekan bikers klub Tiger yang memberi contoh di jalan untuk berhenti di belakang garis batas stop traffic light. Mereka bahkan berani menegur sesama pengendara motor yang tidak tau aturan. Ayo, siapa lagi? Mereka bisa, kita juga pasti bisa. Hanya perlu niat doang kok.

Disana tersebut sebuah klub tiger. Sebagai pengendara motor tiger yang ikut aktif menggalakkan safety riding dalam komunitas HTML tentu saya bangga bila ada pihak yang mengatakan salut terhadap apa yang kami lakukan.
(more…)

Hujan dan Flu

February 9, 2006

Kisah bermula pada hari Senin lalu. Waktu itu hujan turun sejak malam. Paginya, hujan justru semakin deras. Berhubung harus masuk kantor, dengan dilindungi jas hujan, menempuh macetnya jalan Jakarta dengan motor kesayangan. Awalnya perjalanan begitu lancar, hanya hawa dingin dan sentuhan rintik hujan di sekujur tubuh yang agak mengganjal. Belum lagi tetesan air yang jatuh tepat di muka helm dan sesekali menghalangi pandangan.

Memasuki wilayah perkantoran di sekitaran Thamrin, tiba-tiba motor tiger berhenti mengaum. Kontan tidak ada daya untuk melajukan motor berkapasitas 200 cc ini. Berhenti sejenak, mencoba untuk menekan ulang tombol starter electric. Beberapa kali tekan, si tiger kembali mengaum. Lega rasanya.

Setelah mengantar istri di salah satu gedung sekitaran perkantoran tersebut, kembali melanjutkan perjalanan menuju arah Patung Tani. Rupanya kejadian awal matinya mesin kembali terulang. Tepatnya di samping Sarinah Thamrin. Usaha seperti di awal pun segera dicoba. Namun sayang, kali ini motor tidak juga menyala. Sekian kali dicoba plus selah, sama saja. Terpikir, mungkin ada air yang masuk ke salah satu bagian mesin dan membuat mesin mati. Akhirnya terpaksa mendorong kembali motor berat keluaran Honda ini menuju perkantoran Thamrin untuk menumpang parkir.
(more…)