Archive for April 2008

Mie Ayam Asun

April 11, 2008

Pagi ini, suasana cerah menyelimuti Selatan Jakarta. Macet dan asap kendaraan menjadi menu yang tak terelakkan. Tentu dengan raungan klakson dan permainan gas dari beberapa kendaraan yang tak kuat menahan depresi lalu lintas Jakarta.

Seperti biasa, seakan tak mengindahkan suasana tersebut, bersama belahan jiwa kerap mencari pilihan sarapan pagi. Setiap hari silih berganti. Variasi yang menjadi keharusan untuk jiwa yang funky.

Tersebutlah tempat makan di bilangan Menteng Jakarta Pusat. Sebuah tempat penjual mie ayam biasa mangkal setiap harinya. Produk mie yang beberapa kali dibahas di stasiun televisi. Beberapa forum di internet pun tak ketinggalan membahas makanan ini.

Mie Ayam Asun. Konon kabarnya, nama Asun diambil dari daerah asal si penjual. Asun singkatan dari Anak Sunda.
Sebenarnya lokasi yang berada di trotoar depan Sekolah Theresia ini, selalu saya lalui dalam perjalanan dari rumah ke kantor. Rasa ingin mencoba pun selalu terlintas sesaat. Namun, keberuntungan baru saya dapatkan ketika pagi ini sudah mati gaya dengan menu sarapan yang ada.

Selintas, hampir tak ada tempat parkir yang memadai di area ini. Tapi jangan khawatir, pinggir-pinggir batasan trotoar sudah ditetapkan sebagai tempat parkir oleh sekelompok orang di sana.

Tiba saatnya mencari tempat duduk dan pemesanan. Tempat duduk seadanya disediakan penjual. Walau hanya satu kursi memanjang di bawah pohon rindang, suasana nyaman tak lepas dari tempat itu. Dengan menyebutkan jumlah pemesanan, sang penjual dengan segera meracik hidangan hangat tersebut.

Rupanya, SLA dari Mie Ayam Asun ini patut diacungi jempol. Hanya hitungan menit, semangkuk mie ayam sudah sampai di tangan saya. Entah karena masih pagi dan sepi, atau memang biasa seperti itu. Yang jelas, saya puas dengan cepatnya penyajian.

Tampilan satu porsi tidak ada yang istimewa. Sama seperti kebanyakan mie ayam. Terdiri dari mie, ayam, 2 baso, 2 pangsit goreng, dan seledri. Dengan mangkuk bergambar ayam, 2 sumpit merah, plus piring plastik penahan panas. Semuanya masih standar penjualan mie ayam.

Suapan pertama, puluhan lembar mie langsung melesak kedalam mulut saya. Hmmm, rasanya… Standar! Yeah rite, rasanya masih standar.
Mie ayam yang digembor-gembor memiliki rasa anak sunda ini, ternyata tidak berbeda jauh dengan mie ayam lainnya. Walaupun tidak bernilai minus, tapi juga tidak lebih lezat. Masih kalah jauh dengan mie ayam 4848 di bilangan Kwitang. Ada kemiripan rasa dengan mie ayam di Kebun Sirih. Walaupun masih lebih enak daripada mie ayam Nanang yang rasanya semakin sucks!

Kini, semangkuk mie sudah berpindah kedalam perut. Nyaris tidak ada rasa kenyang. Yup, selain rasanya yang standar, porsinya pun tidak terlalu banyak. Kalah jauh dibanding porsi mie ayam Nanang yang sampai memenuhi mangkuknya. Walau rasanya tetap sucks!

Tiba saatnya perhitungan serius dengan si penjual. Sang belahan jiwa bertanya,” Berapa, Bang?”.
“Sepuluh ribu, Mbak”, jawab si penjual. “Heh?!” gumam saya.. 🙂

Weh, dengan porsi yang sedikit, rasa standar, dan tempat yang seadanya, harga 10 ribu kurang pas untuk dibandrol pada mangkuk mie ayam itu.
Hanya cepat saji yang menarik untuk diberi nilai positif.